TENTANG PERGERAKAN MAHASISWA
OLEH
YUNITA ARDAH
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2009
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Metode penelitian
BAB II
PEMBAHASAN
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak
lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan
dukungan dalam menyelesaikan makalah ini
. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
Bandar
Lampung 20 november 2009
Yunita
Ardah R
GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
Sejarah Gerakan Mahasiswa
di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya
dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda
yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan
Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak
dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan
mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan
kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya,
benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural
rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari
bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada
rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan
mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Pemahaman terhadap masyarakat
dan persoalan-persoalannya.
2.
Pemihakan pada rakyat.
3.
Kecakapan-kecakapan dalam
mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1.
Tujuan dan orientasi gerakan
mahasiswa.
2.
Metodologi gerakan mahasiswa.
3.
Strukturalisasi sumber daya
manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4.
Program-program gerakan
mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.
ILUSTRASI TENTANG PERKEMBANGAN
GERAKAN MAHASISWA
Murid-murid STOVIA
mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun 1915.
Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda
kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum
tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda
(IM) pada tahun 1930.
Tahun 1915-1930 merupakan
waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang
lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda
dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna
mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati
masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial
yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta
pemogokan-pemogokan buruh.
Di dalam kondisi
kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi
(Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan
politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa
kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin
represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi
Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi
subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.
Pada masa penjajahan
Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam;
Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik
politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini
adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap,
dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno;
merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan
keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil
jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang
penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga
memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API),
Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI),
Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi.
Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi,
diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan
Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera
memproklamirkan Kemerdekaan RI.
Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata
tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan
Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI
memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah
bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi
lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa
justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan
slogan-slogan “Kebebasan Akademik” dan “Kembali ke Kampus”. Mahasiswa lebih
aktiv dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Persiapan Pemilu 1955
gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri
organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa
Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pada tanggal 28 Februari
1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang
senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi
mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran
militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.
Depolitisasi gerakan
pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga nan kerja sama antara pemuda dan
Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan
dalam aktivitas-ak stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah
mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan
dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun
1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi
mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII)
dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno.
GMNI, CGMI dan GERMINDO
kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI
di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke
dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat
Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu
menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat
membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi
SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI.
Sehubungan dengan insiden
rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan:
Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi
merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang
semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi
pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia
(Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat
perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang
oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.
Dalam masa ini orientasi
gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial
kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh
kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai
sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan
Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis
yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib
(HMI).
Namun seperti juga
generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya yang
mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat kesalahan strategi
lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan massa
yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari; dan gerakan ‘78
dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi
pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena
gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.
Pada tahun 1980-an,
tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama
yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif
yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski
ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang
mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin,
pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis
kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya
dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat,
perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah
terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM,
gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial
(tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari
Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial
kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi
(1983) dan LSM, yang direspon mahasiswa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya
berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat
berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan “arus
bawah”. Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan
picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang
kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus
mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap
kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya
kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan
budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para
pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila
dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan
isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam
membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung
Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan
(rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu
kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi
kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi
turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang
relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers
dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang
dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik
dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi
proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan
mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang
mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain
politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi
dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas,
LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun
kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode
ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya
kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus
kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk
Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat,
seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus
kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan
Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh
Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat
perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan
bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim
penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98
munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi
ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang
sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang
berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya
ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak
dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian
cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko
perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus
dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang
politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik,
dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll.
Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang
politik, benar-benar sesuatu yang baru!
Intensitas gerakan ini
tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti
krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari
penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba
turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4
mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu
kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan,
penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2
hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol.
Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga
legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto
mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan
Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi
ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan
Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu
ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis
yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di
beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu
adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan
Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan
Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998
Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto.
Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang
justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di
tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan
bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.
Membangun Kembali Gerakan
Mahasiswa
Setelah Soeharto
dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik
Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja
yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim
pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga
pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi
pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat
yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak
mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan
yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat
itu.
Untuk membangun kembali
Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya terhadap kelas
kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor. Beberapa organisasi
mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto
membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional
Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung. FONDASI kemudian
melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret
1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh
Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar
Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami
jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut
tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang
terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut
dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999.
Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika
mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai
politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak
terjadi.
Pasca Pemilu Rejim
Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun
ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga
meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh
korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda
UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur
naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa
menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang
demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi
disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat
keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata
tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang
membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali
RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan
Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas
terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang
masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia,
mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik
gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal
ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit
politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam
cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi
rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari
intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi
polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap
GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah
kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam
melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau
biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu
seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR.
Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa
Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah
mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.
Namun demikian ada golongan diluar itu yang
melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes
dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari
golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta
beberapa organ sektoral lainnya seperti dari buruh ada FNPBI yang cukup dominan
serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir
ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya
bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai
bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan
Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur
termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur
dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.
Lewat mekanisme undang-undang politik yang
ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan
GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam
rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik gadungan
seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk
sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih juga
melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.
Gerakan Mahasiswa Kini
Sudah menjadi watak alami
dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada
kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah yang sejak
awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri
untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata
pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke
rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari
rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah
pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan
harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian”
akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi
besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah
pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal
ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi
hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi
yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral
terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus
pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi
represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.
Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa
mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya.
Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak
fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu
mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan
terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah,
rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan
populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru
berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat
penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan
mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan
moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang
ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan
transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa
akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu
dikampanyekan oleh organ-organ pro demokras.
Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam
merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani,
Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu
melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa
untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.
Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah
kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa
hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar