Silahkan buka Link di bawah ini:
http://www.unila.ac.id/index.php/en/arsip-pengumuman/2873-pengumuman-lulus-snmptn-2012
"Maybe you know my name, not my story. you've heard what I've done, not what I've been through. stop judging me..!!!
Selasa, 29 Mei 2012
Minggu, 06 Mei 2012
MODEL KEBIJAKAN PUBLIK
MODEL KEBIJAKAN PUBLIK
- Setiap pimpinan berkewajiban membuat kebijaksanaan, yang kemudian
mengikat bagi setiap orang yang dipimpin, Kebijakan (policy) seringkali
disamakan dengan istilah seperti politik, program, keputusan,
undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan
rencana strategis.
Kebijakan
Publik (Public Policy) juga bisa diartikan sebagai keputusan-keputusan
yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat
garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan
yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh
otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau
orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak
atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan
oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.
Institusi-institusi pemerintah adalah institusi pembuat kebijakan, sekaligus juga institusi pelaksana kebijakan. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik kebijakan tersebut adalah bersumber pada masalah-masalah yang tumbuh dalam mansyarakat luas, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi .
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, diharapkan adanya titik temu dalam persepsi kebijakan itu sendiri.
Memang dalam kenyataan bahwa kebijakan yang lahir belum tentu menyenangkan dan dapat diterima oleh semua yang terkena sekaligus pelaksana kebijakan tersebut, mamun jika kebijakan tersebut tidak diambil, bisa jadi pula dapat merugikan semuanya. Sehingga dengan demikian kebijakan merupakan suatu keharusan sebagai suatu dinamisasi dalam penomena dan permaslahan yang ada.
Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan makalah yang berkenaan dengan model-model kebijakan, dalam kaitannya dengan kebijakan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan adanya persepsi dan pemahaman tentang model kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri.
A. KONSEP TENTANG MODEL KEBIJAKAN
Ada banyak definisi/pengertian tentang konsep model. Model digunakan karena adanya eksistensi masalah publik yang kompleks. Model pada hakikatnya merupakan bentuk abstraksi dari suatu kenyataan (a model is an abstraction of reality).
Disamping itu Model juga merupakan representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu.
Model kebijakan dinyatakan dalam bentuk konsep/teori, diagram, grafik atau persamaan matematis.
Dengan model dapat dilakukan analisis yang menjelaskan secara sederhana pemikiran-pemikiran tentang politik dan kebijakan publik.
B. KARAKTERISTIK MODEL KEBIJAKAN PUBLIK
Secara garis besar bahwa model dalam kebijakan publik itu memiliki karakteristik, sifat dan ciri tersendiri. Karakteristik tersebut antara lain ialah:
Model dalam kebijakan publik itu harus Sederhana & jelas (clear) Ketepatan dalam indentifikasi aspek penting dalam problem kebijakan itu sendiri (precise) Menolong untuk pengkomunikasian (communicable) Usaha langsung untuk memehami kebijakan publik secara lebih baik (manageable) Memberikan penjelasana & memprediksi konsekuensi (consequences)
C. MODEL PEMBUATAN KEBIJAKAN
Ada beberapa pendapat para ahli tentang model dalam hal pembuatan kebijakan, antara lain:
model kebijakan berkembang sesuai dengan kondisi real yang ada. Diantara beberapa model kebijakan antara lainnya adalah:
1. MODEL ELITE
Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi.
Dalam model elite lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan publik hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri.
Dalam model ini ada 2 lapisan kelompok sosial:
a. Lapisan atas, dengan dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu
mengatur.
b. Lapisan tengah adalah pejabat dan administrator.
c. Lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang
diatur.
Isu kebijakan yang akan masuk agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konflik yang terjadi diantara elit politik sendiri. Sementara masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara birokrat/administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas ke bawah.
2. MODEL KELOMPOK
Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi.
Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing diantara kelompok-kelompok yang berpengaruh dikelola. Sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing pada suatu waktu. Agar supaya pertarungan ini tidak bersifat merusak, maka sistem politik berkewajiban untuk mengarahkan konflik kelompok. Caranya adalah:
1. Menetapkan aturan permainan dalam memperjuangkan kepentingan
kelompok
2. Mengutamakan kompromi dan keseimbangan kepentingan
3. Enacting kompromi tentang kebijakan publik
4. Mengusakan perwujudan hasil kompromi Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi perubahan kebijakan publik. Tingkat pengaruh kelompok ditentukan oleh jumlah anggota, harta kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, hubungan yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggota dsb.
Model kelompok dapat dipergunakan untuk menganalisis proses pembuatan kebijakan publik. Menelaah kelompok-kelompok apakan yang paling berkompetensi untuk mempengaruhi pebuatan kebijakan publik dan siapakan yang memiiki pengaruh paling kuat terhadap keputusan yang dibuat. Pada tingkat impelemntasi, kompetensi antar kelompok juga merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas bebijkan dalam mencapai tujuan.
3. MODEL INSTITUSIONAL
(kebijakan adalah hasil dari lembaga) Yaitu hubungan antara kebijakan (policy) dengan institusi pemerintah sangat dekat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik kecuali jika diformulasikan, serta diimplementasi oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas dye: dalam kebijakan publik lembaga pemerintahan memiliki tiga hal, yaitu : 1. legitimasi, 2. universalitas dan ke 3. paksaan. Lembaga pemerintah yang melakukan tugas kebijakan-kebijakan adalah: lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Termasuk juga didalamnya adalah lembaga pemerintah daerah dan yang ada dibawahnya. Masyarakat harus patuh karena adanya legitimasi politik yang berhak untuk memaksakan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut kemudian diputuskan dan dilaksanakan oleh institusi pemerintah. Undang-undanglah yang menetapkan kelembagaan negara dalam pembuatan kebijkaan. Oleh karenanya pembagaian kekuasanaan melakukan checks dan balances. Otonomi daerah juga memberikan nuansa kepada kebijakan publik.
4. MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)
Model ini merupakan kritik pada model rasional. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu:
1. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap
nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan
tujuan kebijakan.
Institusi-institusi pemerintah adalah institusi pembuat kebijakan, sekaligus juga institusi pelaksana kebijakan. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik kebijakan tersebut adalah bersumber pada masalah-masalah yang tumbuh dalam mansyarakat luas, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi .
Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, diharapkan adanya titik temu dalam persepsi kebijakan itu sendiri.
Memang dalam kenyataan bahwa kebijakan yang lahir belum tentu menyenangkan dan dapat diterima oleh semua yang terkena sekaligus pelaksana kebijakan tersebut, mamun jika kebijakan tersebut tidak diambil, bisa jadi pula dapat merugikan semuanya. Sehingga dengan demikian kebijakan merupakan suatu keharusan sebagai suatu dinamisasi dalam penomena dan permaslahan yang ada.
Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan makalah yang berkenaan dengan model-model kebijakan, dalam kaitannya dengan kebijakan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan adanya persepsi dan pemahaman tentang model kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri.
A. KONSEP TENTANG MODEL KEBIJAKAN
Ada banyak definisi/pengertian tentang konsep model. Model digunakan karena adanya eksistensi masalah publik yang kompleks. Model pada hakikatnya merupakan bentuk abstraksi dari suatu kenyataan (a model is an abstraction of reality).
Disamping itu Model juga merupakan representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu.
Model kebijakan dinyatakan dalam bentuk konsep/teori, diagram, grafik atau persamaan matematis.
Dengan model dapat dilakukan analisis yang menjelaskan secara sederhana pemikiran-pemikiran tentang politik dan kebijakan publik.
B. KARAKTERISTIK MODEL KEBIJAKAN PUBLIK
Secara garis besar bahwa model dalam kebijakan publik itu memiliki karakteristik, sifat dan ciri tersendiri. Karakteristik tersebut antara lain ialah:
Model dalam kebijakan publik itu harus Sederhana & jelas (clear) Ketepatan dalam indentifikasi aspek penting dalam problem kebijakan itu sendiri (precise) Menolong untuk pengkomunikasian (communicable) Usaha langsung untuk memehami kebijakan publik secara lebih baik (manageable) Memberikan penjelasana & memprediksi konsekuensi (consequences)
C. MODEL PEMBUATAN KEBIJAKAN
Ada beberapa pendapat para ahli tentang model dalam hal pembuatan kebijakan, antara lain:
model kebijakan berkembang sesuai dengan kondisi real yang ada. Diantara beberapa model kebijakan antara lainnya adalah:
1. MODEL ELITE
Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi.
Dalam model elite lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan publik hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilai-nilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri.
Dalam model ini ada 2 lapisan kelompok sosial:
a. Lapisan atas, dengan dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu
mengatur.
b. Lapisan tengah adalah pejabat dan administrator.
c. Lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang
diatur.
Isu kebijakan yang akan masuk agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konflik yang terjadi diantara elit politik sendiri. Sementara masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas. Sementara birokrat/administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas ke bawah.
2. MODEL KELOMPOK
Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi.
Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing diantara kelompok-kelompok yang berpengaruh dikelola. Sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing pada suatu waktu. Agar supaya pertarungan ini tidak bersifat merusak, maka sistem politik berkewajiban untuk mengarahkan konflik kelompok. Caranya adalah:
1. Menetapkan aturan permainan dalam memperjuangkan kepentingan
kelompok
2. Mengutamakan kompromi dan keseimbangan kepentingan
3. Enacting kompromi tentang kebijakan publik
4. Mengusakan perwujudan hasil kompromi Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi perubahan kebijakan publik. Tingkat pengaruh kelompok ditentukan oleh jumlah anggota, harta kekayaan, kekuatan organisasi, kepemimpinan, hubungan yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggota dsb.
Model kelompok dapat dipergunakan untuk menganalisis proses pembuatan kebijakan publik. Menelaah kelompok-kelompok apakan yang paling berkompetensi untuk mempengaruhi pebuatan kebijakan publik dan siapakan yang memiiki pengaruh paling kuat terhadap keputusan yang dibuat. Pada tingkat impelemntasi, kompetensi antar kelompok juga merupakan salah satu faktor yang menentukan efektifitas bebijkan dalam mencapai tujuan.
3. MODEL INSTITUSIONAL
(kebijakan adalah hasil dari lembaga) Yaitu hubungan antara kebijakan (policy) dengan institusi pemerintah sangat dekat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi kebijakan publik kecuali jika diformulasikan, serta diimplementasi oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas dye: dalam kebijakan publik lembaga pemerintahan memiliki tiga hal, yaitu : 1. legitimasi, 2. universalitas dan ke 3. paksaan. Lembaga pemerintah yang melakukan tugas kebijakan-kebijakan adalah: lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Termasuk juga didalamnya adalah lembaga pemerintah daerah dan yang ada dibawahnya. Masyarakat harus patuh karena adanya legitimasi politik yang berhak untuk memaksakan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut kemudian diputuskan dan dilaksanakan oleh institusi pemerintah. Undang-undanglah yang menetapkan kelembagaan negara dalam pembuatan kebijkaan. Oleh karenanya pembagaian kekuasanaan melakukan checks dan balances. Otonomi daerah juga memberikan nuansa kepada kebijakan publik.
4. MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)
Model ini merupakan kritik pada model rasional. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu:
1. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap
nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan
tujuan kebijakan.
2. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak
diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat
sebelumnya.
3. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan demi kepentingan tertentu
4. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan
bagi kebijakan baru.
5. MODEL SYSTEM THEORY (Policy as sytem output)
Pendekatan sistem ini diperkenalkan oleh David Eston yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara organisme dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang relatif stabil. Ini kemudian dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.
Pada dasarnya terdapat 3 komponen utama dalam pendekatansistem, yaitu: input, proses dan output. Nilai utama model sistem terhadap analisi kebijakan, adalah:
1. Apa karakteristik sistem politik yang dapat merubah permintaan menjadi
kebijakan publik dan memuaskan dari waktu ke waktu.
2. Bagaimana input lingkungan berdampak kepada karakteristik sistem
politik.
3. Bagaimana karakteristik sistem politik berdampak pada isi kebijakan
publik.
4. Bagaimana input lingkungan berdampak pada isi kebijakan publik.
5. Bagaimana kebijakan publik berdampak melalui umpan balik pada
lingkungan.
Proses tidak berakhir disini, karena setiap hasil keputusan merupakan keluaran sistem politik akan mempengaruhi lingkungan. Selanjutnya perubahan lingkunagn inilah yang akan memepengruhi demands dan support dari masyarakat. Salah satu kelemahan dari model ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Seringkali terjadi bahwa apa yang diputusakan oleh permerintah memberi kesan telah dilakukannya suatu tindakan, yang sebenarnya hanya untuk memelihara ketenangan/kestabilan. Persoalan yang muncul dari pendekatan ini adalah dalam proses penentuan tujuan itu sendiri.
6. MODEL RASIONAL
(Kebijakan sebagai laba sosial maksimum) Kebijakan rasional diartikan sebagai kebijakan yang mampu mencapai keuntungan sosial tertinggi. Hasil dari kebijakan ini harus memberikan keuntungan bagi masyarakat yang telah membayar lebih, dan pemerintah mencegah kebijakan bila biaya melebihi manfaatnya.
Banyak kendala rasionalitas, Karakteristik rasionaltias sangat banyak dan bervariasi
Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus:
1. Mengetahui semua keinginan masyarakat dan bobotnya
2. Mengetahui semua alternatif yang tersedia
3. Mengetahui semua konsekwensi alternatif
4. Menghitung rasio pencapaian nilai sosial terhadap setiap alternatif
5. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
Asumsi rasionalitas adalah preferensi masyarakat harus dapat diketahui dan dinilai/bobotnya. Harus diketahui nilai-nilai masyarakat secara konprehensif. Informasi alternatif dan kemampuan menghitung secara akurat tentang rasio biaya dan manfaat.
Aplikasi sistem pengambilan keputusan. Pada dasarnya nilai dan kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat tidak dapat terdeteksi secara menyeluruh, sehingga menyulitkan bagi pembuat kebijakan untuk mementukan arah kebijakana yang akan dibuat.
Pada akhirnya pendekatan rasional ini cukup problematis dalam hal siapa yang menilai suatu kebijakan. Bersifat rasionalitas ataukan tidak.
7. MODEL PROSES
(Siklus Kebijakan Publik) Aktivitas politik dilakukan melalui kelompok yang memiliki hubungan dengan kebijakan publik. Hasilnya adalah suatu kebijakan yang berisi: Identifikasi/pengenalan masalah, Perumusan agenda, Formulasi kebijakan, Adopsi kebijakan Implementasi kebijakan, Evaluasi kebijakan MODEL PILIHAN PUBLIK (Opini Publik) Seharusnya ada keterkaitan anatara opini publik dengan kebijakan publik. Sehingga tidak timbul perdebatan kapan opini publik seharusnya menjadi faktor penentu terpenting yang sangat berpengaruh kepada kebijakan publik.
D. Contoh MODEL KEBIJAKAN DALAM PELAKSANAAN RETRIBUSI PARKIR
Pada dasarnya kebijakan pemerintah dapat dipengaruhi oleh lingkungan, dimana sistem terpengaruh oleh lingkungan sehingga kebijakan yang diambil akibat pengaruh lingkungan terhadap sebuah sistem politik.
Sistem politik melalui pemilihan langsung oleh masyarakat menjadikan pengambil kebijakan dapat dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan masyarakat, hal ini disebabkan oleh keinginan mempertahankan status quo oleh pemegang kebijakan.
Dalam sistem politik Indonesia, pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan adalah eksekutif, proses pengambil kebijakan harus melalui lembaga legislatif sebagai lembaga legitimate dalam membuat kebijakan. Sistem ini dapat terpengaruh oleh tuntutan-tuntutan masyarakat sebab adanya andil masyarakat dalam sistem pemilihan pengambil kebijakan.
Konsep Kebijakan mengenai retribusi parkir oleh Pemerintah Kota Bengkulu pada awalnya telah disiapkan oleh para administrator di pemerintahan yaitu dengan melakukan lelang kepada pihak ketiga, kebijakan tersebut akan dituangkan pada peraturan walikota, akan tetapi para petugas parkir yang menuntut pemerintah daerah kota bengkulu agar tidak melakukan lelang zonasi parkir kepada pihak ketiga membuktikan bahwa adanya pengaruh lingkungan-sistem politik terhadap pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah.
Pada awalnya pemerintah berkeinginan melakukan lelang zonasi parkir dengan tujuan untuk meningkatkan PAD Daerah Kota Bengkulu dengan target pencapaian hingga 3,6 milyar rupiah. Kebijakan yang akan dilakukan ini tentunya mendapat respon oleh para petugas parkir di Kota Bengkulu, sehingga adanya tuntutan untuk membatalkan lelang zonasi parkir melalui demonstrasi oleh para petugas parkir.
Meningat sistem politik di Indonesia saat ini adalah sistem pemilihan langsung dimana semua pengambil kebijakan ingin mempertahankan status quo melalui pemilahan dan berharap pencitraan yang positif dikalangan masyarakat. Begitu juga para legitimated di lembaga DPRD Kota Bengkulu pun ikut memperjuangkan aspirasi petugas parkir tersebut dengan harapan bahwa mereka bisa dianggap wakil rakyat yang mengerti dan mampu mengaspirasi keinginan rakyat, sehingga munculah dukungan-dukungan terhadap tuntutan para petugas parkir.
Lingkungan melalui tuntutan dan dukungan merupakan input yang berpengaruh terhadap sistem politik sehingga kebijakan pembatalan pelelangan zona parkir merupakan out put dari sebuah sistem politik pengambil kebijakan yaitu eksekutif.
Konsep-konsep yang telah dipersiapkan oleh para administrator ternyata dapat berubah karena pengaruh dari lingkungan terhadap sistem politik dimana tuntutan-tuntutan yang kemudian mendapatkan dukungan mempengaruhi sistem, sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan adalah pengaruh dari input. Target pencapaian retribusi parkir seolah diabaikan tetapi tuntutan petugas parkir diakomodir yang hanya menyatakan sanggup menyetorkan retribusi 2,5 milyar.
Out put yang dihasilkan tidak lagi berorientasi pada peningkatan PAD tetapi lebih pada stabilitas dan ketenangan, Out put yang dihasilkan menurut model sistem merupakan untuk memelihara ketenangan/kestabilan saja, sebab adanya keinginan mempertahankan status quo pada pemilihan kepala daerah serta pencitra yang dilakukan oleh lembaga legislatif.
III. PENUTUP DAN KESIMPULAN
1. Model-model dalam kebijakan publik merupakan beberapa alternative pilihan dalam mementukan kebjakan apa yang paling tepat yang akan diputuskan dan dilaksanakan.
2. Ketika suatu kebijakan telah diputuskan, maka seluruh komponen harus saling bekerjasama, membantu dalam merealisasikannya
3. Pilihan kepada salah satu model kebijakan, merupakan suatu upaya untuk mementukan arah kedepan yang lebih baik.
4. Orientasi kebijakan publik tidak hanya menyenangkan dan memuaskan satu golongan tertentu saja, melaikan harus bersifat universal dan menyeluruh.
5. Kebijakan Pemerintah Kota Bengkulu terhadap retribusi parkir dikarenakan adanya tuntutan dan dukungan sehingga merubah karakteristik sistem politik dalam pengambilan kebijakan retribusi parkir tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2010
2. Edi Suharto, Ph.d, Analisis Kebijakan Publik. CV Alfabeta. Bandung, 2008
Sabtu, 05 Mei 2012
DAMPAK SUPERMARKET TERHADAPA PASAR DAN PEDAGANG RITEL TRADISIONAL DI DAERAH PERKOTAAN DI INDONESIA
I. Latar Belakang
Sejak pemberlakuan deregulasi industri ritel pada 1998, jumlah supermarket, hipermarket, dan minimarket (atau yang diistilahkan sebagai “pasar modern”) di Indonesia kian meningkat pesat. Beberapa pihak mengklaim bahwa merosotnya peran pasar tradisional tidak lain merupakan akibat dari ketatnya persaingan dengan pasar modern. Pada 2006, SMERU melakukan studi tentang dampak supermarket pada pasar tradisional di daerah perkotaan di Indonesia. Studi ini dilakukan di Depok dan Bandung dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Pedagang tradisional di tujuh pasar tradisional (lima pasar perlakuan dan dua pasar kontrol) diwawancarai dengan menggunakan kuesioner, sedangkan wawancara mendalam dilakukan dengan pihak pengelola pasar, pengelola supermarket, pejabat dari instansi pemerintah terkait, dan perwakilan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
II. Temuan
Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa supermarket secara statistik memiliki dampak signifikan terhadap jumlah pegawai di pasar tradisional, sementara dampak terhadap penerimaan atau keuntungan pedagang tradisional tidak signifikan. Temuan kualitatif mengindikasikan bahwa kemerosotan kinerja pasar tradisional lebih banyak dipicu oleh masalah internal dan supermarket mendapat keuntungan dari kondisi tersebut. Mayoritas pedagang, baik di pasar perlakuan maupun pasar kontrol, mulai mengalami kelesuan usaha sejak 2003. Dari wawancara mendalam terungkap empat isu sentral yang menjadi penyebab kelesuan, baik di pasar perlakuan maupun di pasar kontrol: pertama, minimnya infrastruktur dasar di pasar; kedua, meningkatnya persaingan dengan para pedagang kaki lima (PKL) yang memenuhi area sekitar pasar; ketiga, kurangnya dana untuk pengembangan usaha; keempat, merosotnya daya beli pelanggan akibat lonjakan harga BBM
pada 2005. Selain itu, beberapa pedagang tradisional di pasar perlakuan mengungkapkan bahwa kehadiran supermarket turut menyumbang pada kondisi bisnis mereka yang menurun.
Temuan studi juga menunjukkan bahwa hampir 90% pedagang tradisional membayar tunai kepada pemasok, dan 88% menggunakan dana sendiri untuk modal usaha. Banyak dari mereka tidak memiliki asuransi usaha dalam bentuk apa pun. Akibatnya, mereka menjadi amat rentan bila terjadi fluktuasi pendapatan, dan sepenuhnya menanggung risiko atas setiap kerugian. Rendahnya akses pada sumber modal alternatif juga menjadi hambatan utama pengembangan usaha bagi pedagang tradisional.
III. Rekomendasi
1. Perbaikan Sistem Pengelolaan Pasar Tradisional
Untuk penanganan yang tepat atas masalah-masalah khusus yang menghambat pasar tradisional, sistem pengelolaan pasar harus diperbaiki. Adanya tekanan untuk mencapai target retribusi membuat banyak pengelola pasar saat ini lebih disibukkan oleh tugas pengumpulan retribusi semata. Dinas pasar seharusnya menentukan target retribusi yang realistis dan tugas penarikan retribusi didelegasikan secara tepat. Di samping itu, pengelola pasar harus memiliki kualifikasi yang memadai dan mendapat kewenangan untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan pasar. Pengelola pasar hendaknya didorong untuk berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pedagang untuk mencapai suatu sistem pengelolaan yang lebih baik. Usaha bersama antara pemda dan sektor swasta seperti yang dipraktikkan di pasar Bumi Serpong Damai (BSD) dapat membantu memfasilitasi perbaikan pengelolaan dan infrastruktur pasar.
2. Perbaikan Infrastruktur Pasar Tradisional
Untuk menarik lebih banyak pelanggan, lingkungan umum dalam pasar tradisional harus dibenahi. Ventilasi dan penerangan yang cukup, fasilitas pembuangan sampah yang memadai bagi pedagang, dan pemantauan dan pemeliharaan sanitasi dan tingkat kebersihan umum harus dijamin. Peraturan kesehatan dan keamanan harus dapat dipenuhi dan pemantauan berkala untuk melihat kesesuaian dengan aturan harus dilakukan pemda untuk memulihkan kepercayaan konsumen. Selain itu, fasilitas parkir yang memadai dan mudah diakses menjadi kebutuhan. Rute transportasi umum hendaknya juga melayani kepentingan pasar tradisional.
Rancangan konstruksi pasar bertingkat tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk menuju ke lantai atas. Akan tetapi, kondisi pasar yang sudah dibangun bertingkat dapat diperbaiki dengan membangun tangga masuk yang tidak terlalu curam, cukup penerangan, dan tidak terhalangi. Setiap lantai harusnya secara khusus menjual jenis barang-barang tertentu saja sehingga akan mendorong arus pelanggan ke lantai-lantai lainnya.
3. Pengorganisasian Para PKL
Pengorganisasian para PKL dengan menegakkan aturan larangan bagi PKL untuk membuka lapak jualan di sekitar pasar tradisional dan memindahkan mereka ke dalam kios-kios yang ada di dalam bangunan pasar tradisional perlu dilakukan. Hal ini akan memberikan dampak positif yang signifikan pada tingkat perdagangan di pasar tradisional. Hal ini juga akan menjamin sistem yang lebih adil, yakni semua pedagang tunduk pada peraturan dan retribusi yang sama. Selain itu, para pembeli akan masuk ke dalam bangunan pasar untuk berbelanja.
4. Penyediaan Dukungan bagi Pedagang Tradisional
a. Pengkajian terhadap pilihan asuransi usaha
Pemda hendaknya menyediakan dukungan bagi upaya kajian terhadap pilihan asuransi usaha bagi pedagang tradisional untuk melindungi mereka bila terjadi kerugian pada penyediaan stok dan aset yang dimiliki. Pilihan yang diambil harus dapat dengan mudah diakses dan sesuai dengan kemampuan pedagang pasar tradisional. Informasi mengenai asuransi dan proses perlindungan yang diberikan asuransi terhadap setiap kerugian yang dialami hendaknya juga disosialisasikan di pasar-pasar tradisional.
b. Bantuan modal bagi pedagang tradisional
Saat ini beberapa bank menawarkan pinjaman kepada pedagang, namun bunga dan syarat yang ditetapkan menyulitkan para pedagang tradisional untuk mengakses pinjaman. Pemda, melalui dinas pasar, seharusnya menjamin bahwa para pedagang dapat memiliki akses bagi pilihan pinjaman keuangan mikro sehingga mereka dapat melakukan pengembangan usaha.
5. Regulasi Terperinci untuk Pasar Modern
Pemerintah Pusat dan pemda harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem pemantauan yang diterapkan untuk menjamin persaingan yang adil antara pedagang pasar modern dan pasar tradisional. Regulasi bagi pasar modern hendaknya mencakup isu-isu seperti hak dan tanggung jawab pengelola pasar modern dan pemda, dan juga sanksi terhadap pelanggaran aturan. Beberapa pemda mungkin menganggap perlu untuk memiliki peraturan khusus yang terpisah, namun perbaikan atas peraturan yang ada saat ini seharusnya sudah memadai.
Sumber : www.smeru.or.id
Sejak pemberlakuan deregulasi industri ritel pada 1998, jumlah supermarket, hipermarket, dan minimarket (atau yang diistilahkan sebagai “pasar modern”) di Indonesia kian meningkat pesat. Beberapa pihak mengklaim bahwa merosotnya peran pasar tradisional tidak lain merupakan akibat dari ketatnya persaingan dengan pasar modern. Pada 2006, SMERU melakukan studi tentang dampak supermarket pada pasar tradisional di daerah perkotaan di Indonesia. Studi ini dilakukan di Depok dan Bandung dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Pedagang tradisional di tujuh pasar tradisional (lima pasar perlakuan dan dua pasar kontrol) diwawancarai dengan menggunakan kuesioner, sedangkan wawancara mendalam dilakukan dengan pihak pengelola pasar, pengelola supermarket, pejabat dari instansi pemerintah terkait, dan perwakilan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
II. Temuan
Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa supermarket secara statistik memiliki dampak signifikan terhadap jumlah pegawai di pasar tradisional, sementara dampak terhadap penerimaan atau keuntungan pedagang tradisional tidak signifikan. Temuan kualitatif mengindikasikan bahwa kemerosotan kinerja pasar tradisional lebih banyak dipicu oleh masalah internal dan supermarket mendapat keuntungan dari kondisi tersebut. Mayoritas pedagang, baik di pasar perlakuan maupun pasar kontrol, mulai mengalami kelesuan usaha sejak 2003. Dari wawancara mendalam terungkap empat isu sentral yang menjadi penyebab kelesuan, baik di pasar perlakuan maupun di pasar kontrol: pertama, minimnya infrastruktur dasar di pasar; kedua, meningkatnya persaingan dengan para pedagang kaki lima (PKL) yang memenuhi area sekitar pasar; ketiga, kurangnya dana untuk pengembangan usaha; keempat, merosotnya daya beli pelanggan akibat lonjakan harga BBM
pada 2005. Selain itu, beberapa pedagang tradisional di pasar perlakuan mengungkapkan bahwa kehadiran supermarket turut menyumbang pada kondisi bisnis mereka yang menurun.
Temuan studi juga menunjukkan bahwa hampir 90% pedagang tradisional membayar tunai kepada pemasok, dan 88% menggunakan dana sendiri untuk modal usaha. Banyak dari mereka tidak memiliki asuransi usaha dalam bentuk apa pun. Akibatnya, mereka menjadi amat rentan bila terjadi fluktuasi pendapatan, dan sepenuhnya menanggung risiko atas setiap kerugian. Rendahnya akses pada sumber modal alternatif juga menjadi hambatan utama pengembangan usaha bagi pedagang tradisional.
III. Rekomendasi
1. Perbaikan Sistem Pengelolaan Pasar Tradisional
Untuk penanganan yang tepat atas masalah-masalah khusus yang menghambat pasar tradisional, sistem pengelolaan pasar harus diperbaiki. Adanya tekanan untuk mencapai target retribusi membuat banyak pengelola pasar saat ini lebih disibukkan oleh tugas pengumpulan retribusi semata. Dinas pasar seharusnya menentukan target retribusi yang realistis dan tugas penarikan retribusi didelegasikan secara tepat. Di samping itu, pengelola pasar harus memiliki kualifikasi yang memadai dan mendapat kewenangan untuk mengambil keputusan tentang pengelolaan pasar. Pengelola pasar hendaknya didorong untuk berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pedagang untuk mencapai suatu sistem pengelolaan yang lebih baik. Usaha bersama antara pemda dan sektor swasta seperti yang dipraktikkan di pasar Bumi Serpong Damai (BSD) dapat membantu memfasilitasi perbaikan pengelolaan dan infrastruktur pasar.
2. Perbaikan Infrastruktur Pasar Tradisional
Untuk menarik lebih banyak pelanggan, lingkungan umum dalam pasar tradisional harus dibenahi. Ventilasi dan penerangan yang cukup, fasilitas pembuangan sampah yang memadai bagi pedagang, dan pemantauan dan pemeliharaan sanitasi dan tingkat kebersihan umum harus dijamin. Peraturan kesehatan dan keamanan harus dapat dipenuhi dan pemantauan berkala untuk melihat kesesuaian dengan aturan harus dilakukan pemda untuk memulihkan kepercayaan konsumen. Selain itu, fasilitas parkir yang memadai dan mudah diakses menjadi kebutuhan. Rute transportasi umum hendaknya juga melayani kepentingan pasar tradisional.
Rancangan konstruksi pasar bertingkat tidak disukai di kalangan pedagang karena para pelanggan enggan untuk menuju ke lantai atas. Akan tetapi, kondisi pasar yang sudah dibangun bertingkat dapat diperbaiki dengan membangun tangga masuk yang tidak terlalu curam, cukup penerangan, dan tidak terhalangi. Setiap lantai harusnya secara khusus menjual jenis barang-barang tertentu saja sehingga akan mendorong arus pelanggan ke lantai-lantai lainnya.
3. Pengorganisasian Para PKL
Pengorganisasian para PKL dengan menegakkan aturan larangan bagi PKL untuk membuka lapak jualan di sekitar pasar tradisional dan memindahkan mereka ke dalam kios-kios yang ada di dalam bangunan pasar tradisional perlu dilakukan. Hal ini akan memberikan dampak positif yang signifikan pada tingkat perdagangan di pasar tradisional. Hal ini juga akan menjamin sistem yang lebih adil, yakni semua pedagang tunduk pada peraturan dan retribusi yang sama. Selain itu, para pembeli akan masuk ke dalam bangunan pasar untuk berbelanja.
4. Penyediaan Dukungan bagi Pedagang Tradisional
a. Pengkajian terhadap pilihan asuransi usaha
Pemda hendaknya menyediakan dukungan bagi upaya kajian terhadap pilihan asuransi usaha bagi pedagang tradisional untuk melindungi mereka bila terjadi kerugian pada penyediaan stok dan aset yang dimiliki. Pilihan yang diambil harus dapat dengan mudah diakses dan sesuai dengan kemampuan pedagang pasar tradisional. Informasi mengenai asuransi dan proses perlindungan yang diberikan asuransi terhadap setiap kerugian yang dialami hendaknya juga disosialisasikan di pasar-pasar tradisional.
b. Bantuan modal bagi pedagang tradisional
Saat ini beberapa bank menawarkan pinjaman kepada pedagang, namun bunga dan syarat yang ditetapkan menyulitkan para pedagang tradisional untuk mengakses pinjaman. Pemda, melalui dinas pasar, seharusnya menjamin bahwa para pedagang dapat memiliki akses bagi pilihan pinjaman keuangan mikro sehingga mereka dapat melakukan pengembangan usaha.
5. Regulasi Terperinci untuk Pasar Modern
Pemerintah Pusat dan pemda harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem pemantauan yang diterapkan untuk menjamin persaingan yang adil antara pedagang pasar modern dan pasar tradisional. Regulasi bagi pasar modern hendaknya mencakup isu-isu seperti hak dan tanggung jawab pengelola pasar modern dan pemda, dan juga sanksi terhadap pelanggaran aturan. Beberapa pemda mungkin menganggap perlu untuk memiliki peraturan khusus yang terpisah, namun perbaikan atas peraturan yang ada saat ini seharusnya sudah memadai.
Sumber : www.smeru.or.id
Model-Model Formulasi Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan merupakan
proses yang rumit. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model
perumusan kebijakan publik untuk mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih
mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan
digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang
berlangsung secara rumit tersebut.
- Model Sistem
Paine dan Naumes menawarkan suatu model
proses pembuatan kebijakan merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh
David Easton. Model ini menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif
karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan
kebijakan.
Menurut Paine dan Naumes, model ini
disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini para
pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk
menemukan pemecahan masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau
menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan
lingkungan, dan (3) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para
pembuat kebijakan itu sendiri.
Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang
ditawarkan oleh Easton, Paine dan Naumes menggambarkan model pembuatan
kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat
kebijakan dalam suatu proses yang dinamis.
Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan
kebijakan terdiri dari interaksi yang terbuka dan dinamis antar para pembuat
kebijakan dengan lingkungannya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran
dan masukan (inputs dan outputs). Keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pada
akhirnya akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dengan
organisasi. Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan
langsung pada proses pembuatan kebijakan.
Menurut model sistem, kebijakan politik
dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap
tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan yang merupakan kondisi atau
keadaan yang berada diluar batas-batas politik. Kekuatan-kekuatan yang timbul
dari dalam lingkungan dan mempengaruhi sistem politik dipandang sebagai
masukan-masukan (inputs) sebagai sistem politik, sedangkan hasil-hasil yang
dikeluarkan oleh sistem politik yang merupakan tanggapan terhadap
tuntutan-tuntutan tadi dipandang sebagai keluaran (outputs) dari sistem
politik.
Sistem politik adalah sekumpulan struktur
untuk dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk
mengalokasikan nilai-nilai bagi suatu masyarakat. Hasil-hasil (outputs) dari
sistem politik merupakan alokasi-alaokasi nilai secara otoritatif dari sistem
dan alokasi-alokasi ini merupakan kebijakan politik. Di dalam hubungan antara
keduanya, pada saatnya akan terjadi umpan balik antara output yang dihasilkan
sebagai bagian dari input berikutnya. Dalam hal ini, berjalannnya sistem tidak
akan pernah berhenti.
Konseptualisasi
kegiatan-kegitan dan kebijakan publik ini dapat dilihat dalam Gambar di bawah
ini
Gambar
Kerangka Kerja Sistem yang Dikembangkan Easton
Gambar ini adalah suatu versi yang disederhanakan dari gagasan ilmu politik yang dijelaskan panjang lebar oleh seorang ilmuwan politik bernama David Easton. Pemikiran sistem politik yang dikemukakan oleh Easton ini, baik secara implisit atau eksplisit telah digunakan oleh banyak sarjana untuk melakukan analisis mengenai sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat adanya kebijakan publik.
Menurut model sistem, kebijakan publik
merupakan hasil dari suatu sistem politik. Konsep ”sistem” itu sendiri menunjuk
pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam
masyarakat yang berfunsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi
keputusan-keputusan yang otoritatif. Konsep ”sistem” juga menunjukkan adanya
saling hubungan antara elemen-elemen yang membangun sistem politik serta
mempunyai kemampuan dalam menanggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya.
Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan-tuntutan dan
dukungan.
Gambar
Model Pembuatan Kebijakan
Yang
Dikembangkan Oleh Pained Dan Naumes
Tuntutan-tuntutan timbul bila individu
atau kelompok-kelompok dalam sistem politik memainkan peran dalam mempengaruhi
kebijakan publik. Kelompok-kelompok ini secara aktif berusaha mempengaruhi
kebijakan publik. Sedangkan dukungan (supports) diberikan bila
individu-individu atau kelompok-kelompok dengan cara menerima hasil-hasil
pemilihan-pemilihan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan secara umum
mematuhi keputusan-keputusan kebijakan. Suatu sistem menyerap bermacam-macam
tuntutan yang kadangkala bertentangan antara satu dengan yang lain.
Untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi
hasil-hail kebijakan (kebijakan-kebijakan publik),
suatu sistem harus mampu
mengatur penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan
penyelesaian-penyelesaian ini pada pihak yang bersangkutan. Oleh karena suatu
sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan
hal ini bergantung pada interaksi antara berbagai subsistem, maka suatu sistem
akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni: 1) menghasilkan outputs yang
secara layak memuaskan, 2) menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar
dalam sistem itu sendiri, dan 3) menggunakan atau mengancam untuk menggunakan
kekuatan (penggunaan otoritas).
Dengan penjelasan yang demikian, maka
model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisaikan penyelidikan
terhadap pembentukan kebijakan. Selain itu, model ini juga menyadarkan mengenai
beberapa aspek penting dari proses perumusan kebijakan, seperti misalnya
bagaimana masukan-masukan lingkungan mempengaruhi substansi kebijakan publik
dan sistem politik? Bagaimana kebijakan publik mempengaruhi lingkungan dan
tuntutan-tuntutan berikut sebagai tindakan? Kekuatan-kekuatan atau
faktor-faktor apa saja dalam lingkungan yang memainkan peran penting untuk
mendorong timbulnya tuntutan-tuntutan pada sistem politik.
- Model Rasional Komprehensif
Model ini merupakan model perumusan
kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima para kalangan
pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari beberapa
elemen, yakni :
- Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain.
- Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurur arti pentingnya.
- Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.
- Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.
- Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai- atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.
Keseluruhan proses tersebut akan
menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk
mencapai tujuan tertentu.
- Model Penambahan
Kritik
terhadap model rasional komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau
inkrementalisme. Oleh karena itu berangkat dari kritik terhadap model rasional
komprehensif, maka model ini berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model
tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model
rasional komprehensif.
Model ini lebih bersifat deskriptif dalam
pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para
pejabat dalam membuat keputusan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mempelajari model penambahan (inkrementalisme), yakni:
- Pemilihan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran dan analisis-analisis empirik terhadap tindakan dibutuhkan. Keduanya lebih berkaitan erat dengan dan bukan berada satu sama lain.
- Para pembuat keputusan hanya mempertimbangkan beberapa alternatif untuk menaggulangi masalah yang dihadapi dan alternatif-alternatif ini hanya berada secara marginal dengan kebijakan yang sudah ada.
- Untuk setiap alternatif, pembuat keputusan hanya mengevaluasi beberapa konsekuensi yang dianggap penting saja.
- Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan dibatasi kembali secara berkesinambungan. Inkrementalisme memungkinkan penyesuaian-penyesuaian sarana-tujuan dan tujuan-sarana sebanyak mungkin sehingga memungkinkan masalah dapat dikendalikan.
- Tidak ada keputusan tunggal atau penyelesaian masalah yang dianggap ”tepat” pengujian terhadap keputusan yang dianggap baik bahwa persetujuan terhadap berbagai analisis dalam rangka memecahkan persoalan tidak diikuti persetujuan bahwa keputusan yang diambil merupakan sarana yang paling cocok untuk meraih sasaran yang telah disepakati.
- Pembuatan keputusan secara inkremental pada dasarnya merupakan remedial dan diarahkan lebih banyak kepada perbaikan terhadap ketidaksempurnaan sosial yang nyata sekarang ini daripada mempromosikan tujuan sosial di masa depan.
Inkrementalisme merupakan proses pembuatan
keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang merupakan hasil kompromi dan
kesepakatan bersama antara banyak partisipan. Dalam kondisi seperti ini,
keputusan yang bijaksana akan lebih mudah dicapai kesepakatan bila
persoalan-persoalan yang dipersengketakan berbagai kelompok dalam masyarakat
hanya berupa perubahan-perubahan terhadap program-program yang sudah ada atau
hanya menambah atau mengurangi anggaran belanja.
Sementara itu, konflik biasanya akan
meningkat bila pembuat keputusan memfokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan
besar yang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian besar. Karena ketegangan
politik yang timbul demikian besar dalam menetapkan program-program atau
kebijakan baru, maka kebijakan masa lalu diteruskan untuk tahun depan kecuali
bila terdapat perubahan politik secara substansial. Dengan demikian, pembuatan
keputusan secara inkrementalisme adalah penting dalam rangka mengurangi konflik,
memelihara stabilitas dan sistem politik itu sendiri.
Menurut pandangan kaum inkrementalis, para
pembuat keputusan dalam menunaikan tugasnya berada dibawah keadaan yang tidak
pasti yang berhubungan dengan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka di
masa depan, maka keputusan-keputusan inkremental dapat mengurangi resiko atau
biaya ketidakkepastian itu. Inkrementalisme juga mempunyai sifat realistis
karena didasari kenyataan bahwa para pembuat keputusan kurang waktu, kecakapan
dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan analisis yang menyeluruh
terhadap semua penyelesaian alternatif masalah-masalah yang ada.
Di samping itu, pada hakikatnya orang
ingin bertindak secara pragmatis, tidak selalu mencari cara hingga yang paling
baik dalam menanggulangi suatu masalah. Singkatnya, inkrementalisme
menghasilkan keputusan-keputusan yang terbatas, dapat dilakukan dan diterima.
- Model Penyelidikan Campuran
Ketiga model yang telah dipaparkan
sebelumnya, yakni model sistem, model rasional komprehensif dan model
inkremental pada dasarnya mempunyai keunggulann dan kelemahannya masing-masing.
Oleh karena itu, dalam rangka mencari model yang lebih komprehensif, Amitai
Etzioni mencoba membuat gabungan antara keduanya dengan menyarankan penggunaan
mixedscanning. Pada dasarnya ia menyetujui model rasional, namun dalam beberapa
hal ia juga mengkritiknya. Demikian juga, ia melihat pula kelemahan-kelemahan
model pembuatan keputusan inkremental.
Menurtu Etzioni, keputusan yang dibuat para
inkrementalis merefleksikan kepentingan kelompok-kelompok yang paling kuat dan
terorganisir dalam masyarakat, sementara kelompok-kelompok yang lemah tidak
terorganisir secara politik diabaikan. Di samping itu, dengan memfokuskan pada
kebijakan-kebijakan jangka pendek dan terbatas, para inkrementalis mengabaikan
pembaruan sosial yang mendasar. Keputusan-keputusan yang besar dan penting,
seperti pernyataan perang dengan negara lain tidak tercakup dengan
inkrementalisme. Sekalipun jumlah keputusan yang dapat diambil dengan
menggunakan model rasional terbatas, tetapi keputusan-keputusan yang mendasar
menurut Etzioni adalah sangat penting dan seringkali memberikan suasana bagi
banyak keputusan yang bersifat inkremental.
Etzioni memperklenalkan mixed scanning
sebagai suatu pendekatan terhadap pembuatan keputusan yang memperhitungkan
keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses pembuat
kebijakan pokok urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar,
proses-proses yang mempersiapkan keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya
setelah keputusan itu tercapai. Untuk
menjelaskan mixed scanning, Etzioni memberi gambaran sebagai berikut:
”kita
beranggapan akan membuat sistem pengamatan cuaca seluruh dunia dengan
menggunakan satelit-satelit cuaca”.
Pendekatan rasionalitas akan menyelidiki
keadaan-keadaan cuaca secara mendalam dengan menggunakan kamera-kamera yang
mampu melakukan pengamatan-pengamatan dengan teliti dan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan terhadap seluruh angkas sesering mungkin. Hal ini akan
memberikan banyak hasil pengamatan secara terperinci, biaya yang mahal untuk
menganalisisnya dan kemungkinan membebani kemampuan-kemampuan untuk mengambil
tindakan. Inkrementalisme akan memusatkan pada daerah-daerah itu serta pola-pola
yang serupa yang berkembang pada waktu yang baru lalu dan barangkali terdapat
diwilayah terdekat. Dengan demikian, inkrementalisme mungkin tidak dapat
mengamati tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Strategi penyelidikan campuran (mixed
scanning strategy) menggunakan elemen-elemen dari dua pendekatan dengan
menggunakan dua kamera, yakni sebuah kamera dengan sudut pandang lebar yang
mencakup semua bagian luar angkasa, tetapi tidak sangat terperinci dan kamera
yang kedua membidik dengan tepat daerah-daerah yang diambil oleh kamera pertama
untuk mendapatkan penyelidikan yang mendalam. Menurut Etzioni, daerah-daerah
tertentu mungkin luput dari penyelidikan campuran ini, namun pendekatan ini
masih lebih baik dibandingkan dengan inkrementalisme yang mungkin tidak dapat
mengamati tempat-tempat yang kacau di daerah-daerah yang tidak dikenal.
Dalam penyelidikan campuran para pembuat
keputusan dapat memanfaatkan teori-teori rasional komprehensif dan inkremental
dalam situasi-situasi ayang berbeda. Dalam beberapa hal, mungkin pendekatan
inkrementalisme mungkin telah cukup memadai namun dalam situasi yang lain
dimana masalah yang dihadapi berbeda, maka pendekatan yang lebih cermat dengan
menggunakan rasional komprehensif mungkin jauh lebih memadai.
Penyelidikan campuran juga memperhitungkan
kemampuan-kemampuan yang berbeda dari para pembuat keputusan. Semakin besar
kemampuan para pembuat keputusan memobilisasi kekuasaan untuk melaksanakan
keputusan, maka semakin besar pula penyelidikan campuran dapat digunakan secara
relistis oleh para para pembuat keputusan. Menurut Etzioni, bila bidang cakupan
penyelidikan campuran semakin besar, maka akan semakin efektif pembuatan
keputusan tersebut dilakukan.
Dengan demikian, penyelidikan campuran
merupakan suatu bentuk pendekatan ”kompromi”yang menggabungkan penggunaan
inkrementalisme dan rasionalisme sekaligus. Namun demikian, Etzioni tidak
memberi penjelasan yang cukup memadai menyangkut bagaimana pendekatan itu
digunakan dalam praktiknya. Walaupun begitu, pendekatan yang ditawarkan Etzioni
tersebut dapat membantu mengingatkan kenyataan-kenyataan penting bahwa
keputusan berubah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah
wajar sejalan dengan sifat keputusan yang berubah-ubah tadi.
Langganan:
Postingan (Atom)