(Mata Kuliah Strategi dan Tehnik
Komunikasi Politik)
OLEH:
Eva Yuliani Sihaloho 0816021003
Meidiana Fransisca 0816021007
Reni Elfina 0816021051
Yunita Ardah R 0816021013
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
Kasus :
Pasangan
calon walikota Tebingtinggi H M Syafri Chap dan Ir H Hafas Fadillah untuk
sementara menang mutlak di lima kecamatan dalam perolehan suara sementara pada
Pilkada secara langsung. Posisi
kedua diraih pasangan nomor urut 1 Ir Umar Junaidi Hasibuan dan H Irham Taufik
Umri SH MAP, posisi ketiga diraih pasangan nomor urut 5 Drs H Syaril Hafzein
dan H Wangunadi SE, posisi ke empat diraih nomor urut 3 H Amril Harahap dan Ir
Irwandi, sedangkan posisi kelima diraih no urut 2 Drs Adi Irianto dan Dr
Sarabintang Saragih.
Namun ada berita yang
cukup mengejutkan masyarakat, dan yang lebih terpukul dalam kabar buruk itu
adalah pasangan H M Syafri Chap dan Ir H Hafas Fadillah yang telah menang mutlak di lima kecamatan. Pasalnya Komisi Pemilihan Umum melakukan
kesalahan fatal yang merugikan kandidat calon kepala daerah yang telah
dinyatakan menang dalam pemilihan kepala daerah di Kota Tebingtinggi tersebut.
Mahkamah
Konstitusi (MK) memerintahkan dilaksanakannya pemungutan suara ulang pemilihan
kepala daerah (pilkada) di Kota Tebingtinggi. Pelaksanaan pemungutan suara
ulang harus sudah digelar selambat-lambatnya enam bulan sejak putusan dibacakan.
Mahkamah Konstitusi memerintahkan
kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tebing Tinggi, untuk segera menyelenggarakan pemungutan
suara ulang pada pemilihan
kepala daerah di kota tebing tinggi Sumatera Utara, yang diikuti oleh
seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, kecuali pasangan
calon nomor urut 4, yaitu Mohammad
Syafri Chap dan Hafas Fadillah.
Majelis
menilai pasangan Mohammad Syafri Chap dan Hafas Fadillah, yang mendapat suara
tertinggi berdasarkanperhitungan KPU Tebingtinggi, memiliki permasalahan di dalam administrasi,
yaitu persyaratan pencalonannya tidak sah. Pasalnya, Syafri Chap pernah
dijatuhi hukuman penjara dengan putusan yang sudah in cracht. Syafri divonis karena melakukan tindak
pidana yang diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih. Kejaksaan
Negeri Tebingtinggi sudah mengeksekusi putusan itu, dan pada 11 November 2009
menjalani masa percobaan hingga 11 Mei 2011.
Meski
demikian, majelis hakim konstitusi menilai kesalahan itu bukan semata-mata
dilakukan Syafri, sebab KPU Tebingtinggi telah menyatakan Syafri memenuhi semua
syarat. Hakim menyatakan fakta
hukum menunjukkan bahwa kesalahan tersebut telah dilakukan oleh KPU karena
telah membuat formulir yang isinya, "tidak sedang menjalani pidana
penjara" padahal seharusnya berisi, "tidak pernah dijatuhi pidana
penjara". KPU
Tebingtinggi telah nyata-nyata melakukan kesalahan dan bertindak tidak
profesional yang merugikan Syafri-Hafas Fadillah. Meskipun begitu, karena secara materiil telah terjadi kesalahan
sejak awal, maka MK menilai secara hukum tetap prosedur pemilihan tidak sah
sejak awal.
Fakta
lain dari sidang yang di
lakukan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu terdapatnya perpedaan pendapat diantara
beberapa hakim. dari sembilan hakim MK, lima hakim menyetujui putusan
tersebut Namun, empat hakim lainnya memberikan pendapat berbeda (dissenting
opinion). Keempat hakim itu ialah M Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida,
dan Harjono. Alasan mengapa
mereka menolak pemilihan ulang tersebut adalah mereka menganggap bahwa Syafri sudah memenuhi seluruh tahapan pilkada.
Pada waktu verifikasi administrasi dan faktual, sehingga tidak ada satu pun keberatan
terkait pencalonan Syafri. Kecuali
adanya surat permintaan klarifikasi dari sebuah LSM Brata Jaya Corruption
Watch. Kesalahan sebenarnya terletak pada KPU Tebingtinggi, yang salah
memberikan formulir yang isinya "tidak sedang menjalani pidana penjara.
ANALISIS
Strategi
komunikasi politik merupakan rencana yang meliputi metode, teknik dan tata
fungsional antara unsure-unsur dan faktor-faktor dari proses komunikasi untuk
kegiatan operasional dalam ranggka pencapaian tujuan dan sasaran. Melalui
penerapan strategi komunikasio politik, rakyat dapat mengetahui apakah dukungan,
aspirasi dan pengawasan itu tersalur atau tidak dalam berbagai kebijkan publik.
Bagi pemerintah, strategi komunikasi politik berguna untuk proses pembuatan
atau penerapan dan pemutusan aturan-aturan terhadap proses pilkada langsung di
Indonesia. Penerapan strategi komunikasi politik di Indonesia pada pilkada
secara langsung, perlu dikembangkan, terutama dalam rangka pertumbuhan sistem
demokrasi. Caranya dengan meningkatkan kemampuan dan kemampuan masyarakat untuk
mengungkapkan kepentingan dan aspirasinya, serta bagi kekuatan sosial-politik
untuk menampung dan menyalurkan kebijakan-kebijakannya sehingga berkembang
komunikasi timbal balik antara suprastruktur dan infrastruktur politik dalam
mempersiapkan pilkada langsung yang berkualitas di Indonesia.
Pencalonan adalah salah satu tahap
paling penting dalam penyelenggaraan pilkada selain tahap pendaftaran pemilih,
kampanye pasangan calon, pemberian suara dan penghitungan suara serta
pengumuman hasil pilkada. Melalui tahap pencalonan, tidak hanya terjadi interaksi
antara partai-partai dan para kandidat yang berminat menjadi kepala dan wakil
kepala daerah, melainkan juga tarik-menarik dan tawar-tawar di antara
partai-partai.
Dinamika
politik pilkada terutama tampak pada tahap pencalonan karena terjadi kerjasama,
kesepakatan dan akhirnya koalisi antar partai tentang pasangan kandidat yang
diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Tidak jarang terjadi konflik
internal di dalam satu partai apabila tidak ada kesepakatan antara pimpinan
partai di tingkat pusat dan propinsi, antara pengurus tingkat propinsi dan
pengurus tingkat kabupaten/kota, ataupun di antara sesama pengurus tingkat propinsi,
kabupaten, dan kota. Seperti dikemukakan sebelumnya, mekanisme pencalonan
pilkada yang diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6 dan No. 17 tahun 2005,
hanya mengenal satu jalur, yakni pencalonan melalui atau oleh partai politik
dan atau gabungan partai politik.
Melihat kasus diatas maka dapat di
simpulakan bahwa kesalahan komunikasi yang terjadi di tubuh KPU (komisi
pemilihan umum) cukup fatal dan
mengakibatkan kerugaian yang besar, baik itu bagi calon walikota maupun pihak
KPU itu sendiri. Pihak KPU di tuntut bertanggung jawab atas kesalahan yang
telah mereka lakukan. Yaitu dengan bertanggung jawab untuk melakukan pemilihan
ulang di kota tebing tinggi. Bukan hanya itu hukuman yang akan di terima oleh
pihak KPU, KPU kini telah di cap sebagai lembaga yang tidak becus dalam
menjalankan tugasnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut di
tuntut untuk bergerak cepat dalam mempersiapkan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) Tebingtinggi. Meskipun ada waktu selama enam bulan untuk
menyelenggarakan Pilkada bermasalah itu. Maka Langkah pertama yang harus
dilakukan pihak KPU antara lain adalah membentuk dewan kehormatan etik untuk
KPU Tebingtinggi karena dinilai telah melanggar kode etik, baik dari sisi
penyelenggara maupun penyelenggaraan. Dari aspek penyelenggara terkait
diabaikannya supervisi yang diberikan KPU Sumut terkait tahap pencalonan Syafri
Chap yang sjak awal dinilai bermasalah. Sedangkan dari aspek penyelenggaraan
jelas bahwa dalam Putusan MK disebutkan KPU Tebingtinggi dinilai bersalah
karena telah meloloskan calon yang bermasalah dengan persyaratan tidak pernah
dihukum dengan ancaman lima tahun lebih.
Menyelesaikan persoalan Tebingtinggi, KPU Sumut memanggil KPU
Tebingtinggi untuk membahas tindak lanjut putusan MK tersebut. Pihaknya akan
meminta pemaparan kondisi terkait penyelenggaraan Pilkada Tebing Tinggi sejak
awal hingga putusan di MK. Anggota Komisi A DPRD Sumatera Utara Tanah Manahan
meminta KPU Sumut untuk segera menetapkan jadwal Pilkada Ulang. Dia menyesalkan
pihak-pihak yang dengan gampang menetapkan Pilkada Ulang bagi beberapa daerah
tanpa memberikan kapan jadwal Pilkada ulang dilakukan. Karena jika terlalu
lama, justru dikhawatirkan akan terjadi gesekan-gesekan yang nantinya membawa
konflik.
Contoh kasus Pilkada Kota Tebing Tinggi di atas. HM Syafri Chap
berpasangan dengan H Hafaz Fadilah, memenangkan Pilkada secara telak dalam 1
(satu) putaran. Proses Pilkada yang berlangsung dengan damai , kondusif, serta
tidak sepotong surat ataupun pengaduan dari pihak manapun sebelum Pilkada
digelar, dan memenuhi seluruh peraturan KPU, digugat ke MK oleh calon yang
kalah. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa KPU telah salah dalam
menterjemahkan Undang-undang. Artinya, dengan Peraturan yang dibuat KPU Pusat ,
HM Syafri Chap jadi bisa memenuhi seluruh persyaratan sebagai Calon Kepala
Daerah Dan dalam proses menjeput amanah kedaulatan rakyat lewat proses Pilkada,
HM Syafri Chap memenangkannya. Namun, karena KPU Pusat telah salah
menterjemahkan Undang-undang, HM Syafri Chap yang telah lolos dalam pencalonan,
dan ditetapkan sebagai walikota terpilih, maka hasil kedaulatan rakyat yang
diamanahkan itu harus dibatalkan. MK memerintahkan dilakukan Pemungutan Suara
Ulang, dengan tidak mengikutkan HM Syafri Chap.
MK secara eksplisit menyebutkan dalam putusannya “maka sekiranya
Pasangan Calon tersebut (HM Syafri Chap-Hafaz Fadilah-pen) tidak
diikutsertakan, sudah pasti konfigurasi perolehan suara masing-masing Pasangan
Calon akan berbeda, sehingga Mahkamah menilai bahwa alasan Pemohon a quo juga
adalah sengketa hasil Pemilukada yang menjadi kompetensi Mahkamah.
Dalam kutipan putusan MK tersebut ada “kesan” menyiratkan “keberpihakan” kepada calon lain yang tidak menjadi pemenang Pilkada.
Dalam kutipan putusan MK tersebut ada “kesan” menyiratkan “keberpihakan” kepada calon lain yang tidak menjadi pemenang Pilkada.
Dan Putusan MK yang memerintahkan Pemungutan suara ulang di Tebing
Tinggi, sesungguhnya sebuah keputusan yang “luar biasa” didalam tubuh MK
sediri. Pendapat Hakim MK terbelah. Antara yang konsisten melihat persoalan
dari kewenangan MK yang diberikan Undang-undang versus dengan yang melihat
persoalan dari aspek yang lain. 5 (lima) orang hakim MK membenarkan bahwa HM
Syafri Chap tidak memenuhi persyaratan menjadi calon, serta 4 (empat) orang
hakim MK menyatakan persoalan ini bukan ranah dan kewenangan MK.
Berdasarkan kasus diatas yang
seharusnya dilakukan KPU harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
Komisi Pemiliha Umum yaitu sebagai berikut :
STRATEGI TAHAPAN
SOSIALISASI DAN PENYAMPAIAN INFORMASI
Pasal 11
1.
Strategi pelaksanaan sosialisasi dan penyampaian
informasi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah meliputi :
a.
Strategi Tahap Satu : difokuskan pada “brand image
building” KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
b. Strategi Tahap Dua :
difokuskan pada sosialisasi dan pemberian
informasi kepada seluruh penyelenggara Pemilu sampai tingkat PPK,
PPS/PPSLN dan KPPS/KPPSLN agar tercapai persepsi yang sama dalam memberikan
sosialisasi dan informasi pemilu kepada seluruh masyarakat.
c. Strategi
Tahap Tiga : difokuskan kepada semua kelompok sasaran pemilih dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan agar tercapai target yang ditentukan sehingga tidak ada masyarakat
yang tidak memilih karena tidak mendapatkan informasi.
d. Strategi
Tahap Empat : memaksimalkan peran PPK dan PPS sebagai ujung tombak dalam
melaksanakan sosialisasi pemilu sampai ke tingkat akar rumput.
e. Strategi
Tahap Lima : difokuskan pada sosialisasi tata cara pemungutan dan penghitungan
suara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2.
Strategi pelaksanaan sosialisasi dan penyampaian
informasi Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bersifat :
a. Terpadu dan
sistematis.
b. Menggunakan
materi above dan below the line.
c. Penggalangan kemitraan.
d. Menjangkau seluruh
kelompok sasaran khususnya masyarakat yang
memiliki hak pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar