"Don't be afraid of change... you may lose something good, but you may gain something even better (ง •̀_•́)ง "

Senin, 08 Oktober 2012

Ini 5 Kesimpulan Solusi & Langkah dari SBY untuk KPK-Polri

Jakarta Presiden SBY angkat bicara terkait kisruh yang menyeruak di antara KPK dan Polri. Ada 5 kesimpulan utama terkait solusi dan langkah yang akan dilaksanakan ke depan.

Solusi itu disampaikan SBY dalam acara yang juga dihadiri beberapa pejabat negara seperti Kapolri Jenderal Por Jenderal Timur Pradopo, Menkum HAM Amir Syamsuddin, dan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Berikut ini 5 kesimpulan solusi yang disampaikan SBY di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10/2012):

1. Yang melibatkan Irjen Djoko Susilo agar ditangani KPK dan tidak dipecah. Polri menangani kasus lain yang tidak terkait langsung.

Inilah Peraturan Pemerintah Soal Penyidik KPK yang Disiapkan SBY

Jakarta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang baru tentang penyidik KPK. SBY membeberkan secara gamblang aturan baru yang akan segera diterapkan tersebut.

Pertama, Presiden SBY menyampaikan masa kerja penyidik KPK adalah 4 tahun. Menurut SBY masa kerja penyidik KPK 4 tahun cukup ideal.

"4 tahun, bukan maksimal 4 tahun. Sehingga tidak terlalu cepat diganti," kata SBY dalam pidato resminya di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/10/2012).

SBY juga akan memastikan masa kerja penyidik KPK bisa diperpanjang. Namun KPK diminta berkoordinasi dengan Polri terkait perpanjangan masa kerjanya.

"Bisa diperpanjang selama 4 tahun lagi, namun dalam perpanjangan masa kerja penyidik agar dikoordinasikan dengan Polri, agar berkaitan dengan pendidikan dan penugasan apa bisa kembali bertugas ke KPK," katanya.

SBY juga menegaskan Peraturan Pemerintah yang baru nantinya akan mengatur agar ketersediaan penyidik KPK terjaga. Termasuk memungkinkan penyidik Polri yang bertugas di KPK diangkat menjadi pegawai KPK.

Sabtu, 06 Oktober 2012

El Clasico KPK Vs Polri

13494996712027005870
Kapolri dan Ketua KPK - pic: vivanews
El Clasico (bahasa Inggris: The Classic; juga dikenal sebagai El Derbi Espanyol atau El Classic) adalah sebutan yang diberikan untuk setiap pertandingan sepak bola antara FC Barcelona dan Real Madrid. Sengaja penulis menggunakan judul El Clasico untuk melihat konfilk antara KPK dan Polri ini dalam perspektif yang sedikit beda.

Selama ini konflik antara KPK dan Polri selalu diidentikkan dengan penggambaran Cicak VS Buaya. Pada periode konfrontasi yang pertama dulu, Cicak dan Buaya merupakan timbunan rasa ketidak kepuasan serta rasa ketidak percayaan terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia yakni Kejaksaan dan Kepolisian yang dipersonifikasi sebagai buaya sedangkan pihak yang berlawanan menyebut dirinya sebagai cicak, kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji, Komjen Pol, Kabareskrim Mabes Polri ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan bahwa …..cicak kok mau melawan buaya….., untuk menggambarkan antara KPK dan Polri.

Dari awal perseteruan tersebut maka setiap ada gesekan antara KPK dan Polri maka selalu muncul ungkapan Cicak VS Buaya. Maka tak aneh kalau babak baru perseteruan antara KPK VS Polri yang teranyar ini pun disebut sebagai Cicak VS Buaya Jilid II. Terlepas dari perseteruan terkini yang makin panas dan makin tidak terduga, sebenarnya kedua instusi penegak hukum ini mempunyai ikatan yang sangat kuat, mengingat mayoritas penyidik yang ada di KPK adalah anggota Polri yang di tugaskan membantu KPK. Jadi bahan bakar utama penggerak KPK sekarang ini adalah penyidik KPK yang notabene sebagai anggota Polri. Pada titik ini nampak sekali bahwa tingkat ketergantungan KPK pada institusi Polri sangat tinggi, sehingga kalau ada letupan konflik pasti menimbulkan efek yang sangat besar.

Pada perseteruan Jilid I antara KPK VS Polri, relatif tidak menyentuh pada tataran penyidik KPK, sehingga letupanya tidak sampai melibatkan semua bagian dalam kedua institusi tersebut. Beda dengan perseteruan Jilid yang pertama, maka perseteruan kali ini benar-benar dalam skala masif melibatkan semua unsur dalam institusi KPK dan Polri. Ada peberapa faktor yang merupakan pemicu pertarungan ini makin keras, yaitu: penetapan tersangka Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM; penarikan atau rotasi penyidik KPK oleh Polri; penetapan penyidik KPK yang masih jadi anggota Polri menjadi pegawai tetap KPK; dan penetapan tersangka terhadap penyidik KPK Kompol Novel Baswedan.

Konflik KPK Vs Polri Menguji Kewibawaan Kepemimpinan Presiden

Oleh : Drs. Maringan Panjaitan, M.Si.

Masyarakat Indonesia kembali melihat sebuah tontonan yang tidak elegan antara Polri versus KPK. Tontonan elegan itu menyangkut kasus korupsi dalam tubuh Polri dalam hal pengadaan simulator SIM Direktorat Lantas Polri yang menyeret Irjen Djoko Susilo. Seiring dengan pengembangan penegak hukum ini juga menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Wakil Korlantas Brigjen Didik Purnomo, Kepala Keuangan Korlantas Kompol Legimo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA), Budi Susanto (BS), Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo Bambang dan AKBP Teddy Rusmawan.
Apa yang kita lihat dalam kasus ini tentu sungguh memalukan. Spirit pemberantasan korupsi ternyata terkendala di tingkat elite hukum, khususnyanya lagi aparat penegak hukum. Kalau kita meminjam istilah almarhum Gus Dur, menyapu rumah agar bersih dari segala debu butuh sapu yang bersih. Menyapu rumah koruptor butuh sapu yang bersih. Pernyataan almarhum Gus Dur ini merupakan pernyataan yang sangat sederhana dan mutlak kebenarannya. Inilah sebuah realitas republik kita yang sedang bergumul dalam korupsi.

Hampir di semua lapisan kita korupsi. Korupsi yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung. Korupsi menjadi budaya di tubuh pemerintahan. Mengubah budaya ini tentu sangat sulit karena urat syaraf kemaluan sudah hilang. Bayangkan ada kasus korupsi pengadaan AlQuran, kasus korupsi dalam tubuh Polri seperti rekening gendut, mafia anggaran, biaya perjalanan dinas yang semuanya itu merupakan kecanggihan memainkan peraturan atau hukum. Masalahnya, apakah para penilep uang rakyat ini sudah tidak punya hati nurani lagi?

Kembali kepada persoalan korupsi yang melibatkan Polri secara institusi dalam pengadaan simulator SIM. Seharusnya secara etika profesi kasus korupsi dalam tubuh Polri tidak bisa terjadi karena mereka adalah aparat penegak hukum.