"Don't be afraid of change... you may lose something good, but you may gain something even better (ง •̀_•́)ง "

Sabtu, 06 Oktober 2012

Konflik KPK Vs Polri Menguji Kewibawaan Kepemimpinan Presiden

Oleh : Drs. Maringan Panjaitan, M.Si.

Masyarakat Indonesia kembali melihat sebuah tontonan yang tidak elegan antara Polri versus KPK. Tontonan elegan itu menyangkut kasus korupsi dalam tubuh Polri dalam hal pengadaan simulator SIM Direktorat Lantas Polri yang menyeret Irjen Djoko Susilo. Seiring dengan pengembangan penegak hukum ini juga menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Wakil Korlantas Brigjen Didik Purnomo, Kepala Keuangan Korlantas Kompol Legimo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA), Budi Susanto (BS), Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, Sukotjo Bambang dan AKBP Teddy Rusmawan.
Apa yang kita lihat dalam kasus ini tentu sungguh memalukan. Spirit pemberantasan korupsi ternyata terkendala di tingkat elite hukum, khususnyanya lagi aparat penegak hukum. Kalau kita meminjam istilah almarhum Gus Dur, menyapu rumah agar bersih dari segala debu butuh sapu yang bersih. Menyapu rumah koruptor butuh sapu yang bersih. Pernyataan almarhum Gus Dur ini merupakan pernyataan yang sangat sederhana dan mutlak kebenarannya. Inilah sebuah realitas republik kita yang sedang bergumul dalam korupsi.

Hampir di semua lapisan kita korupsi. Korupsi yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung. Korupsi menjadi budaya di tubuh pemerintahan. Mengubah budaya ini tentu sangat sulit karena urat syaraf kemaluan sudah hilang. Bayangkan ada kasus korupsi pengadaan AlQuran, kasus korupsi dalam tubuh Polri seperti rekening gendut, mafia anggaran, biaya perjalanan dinas yang semuanya itu merupakan kecanggihan memainkan peraturan atau hukum. Masalahnya, apakah para penilep uang rakyat ini sudah tidak punya hati nurani lagi?

Kembali kepada persoalan korupsi yang melibatkan Polri secara institusi dalam pengadaan simulator SIM. Seharusnya secara etika profesi kasus korupsi dalam tubuh Polri tidak bisa terjadi karena mereka adalah aparat penegak hukum.



Sebagai aparat penegak hukum mereka tentu memberikan contoh dalam bentuk nilai keteladanan kepada masyarakat. Contoh atau nilai keteladanan ini tidak nampak karena perilakunya yang jauh dari kebenaran hukum. Ini tentu sebuah kendala dalam konsolidasi hukum yang bermartabat dan bekeadilan.

Bagaimana mungkin masyarakat mau patuh kepada hukum kalau aparatnya terlihat secara jelas melakukan pelanggaran hukum. Apalagi pelanggaran hukumnya adalah korupsi karena persekongkolan dan keserakahan. Masyarakat kini kehilangan pegangan dalam hal menjadi teladan hukum di republik ini.

Bukan hanya Polri, Jaksa, dan Hakim sebagai aparat penegak hukum banyak juga yang bermasalah. Akibatnya, penegakan hukum atau supremasi hukum tidak jalan karena aparat tadi tidak melakukan konsistensi sikap dalam penegakan hukum. Lantas, dengan kultur penegakan seperti ini, sebuah pertanyaan tentu muncul apakah kita masih bisa mengherapkan hukum tegak di negeri ini? Sementara kita sudah seringkali mendengar bahwa menegakkan hukum di negara kita ibarat menegakkan benang kusut. Anggapan seperti ini bukan tanpa alasan. Anggapan itu muncul seiring dengan lemahnya penegakan hukum yang dimulai oleh mental aparat penegak hukum yang tidak siap.

Ketika persoalan KPK Vs Polri sedang menguak ke publik karena Polri menolak diperiksa oleh KPK, apa yang harus dilakukan oleh leader nomor-1 di negara ini? Disinilah kewibawaan kepemimpinan Presiden SBY akan diuji. Mengingat Presiden kita sudah seringkali mengeluh mengenai kondisi kabinetnya. Bahkan SBY pernah kecewa pada kabinetnya yang waktunya tersita dalam menguruh parpolnya. Curhat ke Presiden ini tentu tidak mendidik kepada publik karena dia digambarkan oleh publik sebagai seorang pemimpin yang tidak punya sikap yang tegas.

Sebagai orang nomor satu di republik ini, karakter yang kuat atau karakter kepemimpinan sudah saatnya ditunjukkan oleh Presiden SBY. Ketegasan kepemimpinan akan sangat penting dalam mendukung segala kebijakan oleh pemerintah. Apa jadinya sebuah negara jika tidak dipimpin dengan sikap yang tegas, kuat, luwes, dan punya orientasi jangka panjang. Negara itu akan sulit berkembang dan ters berada pada konflik yang berlarut-larut. Akibatnya rakyat yang harus disejahterakan menjadi rakyat yang ditinggalkan.

Inilah saatnya yang paling tepat atau membangun meomentum bagi Presiden SBY untuk menujukkan kewibawaan kepemimpinannya. Sebuah wibawa yang menggambarkan sikap yang tegas, khususnya kasus korupsi. SBY perlu memahami, KPK dibentuk dengan uang yang sangat mahal agar bisa bekerja secara profesional.

Untuk itu KPK perlu diberdayakan sehingga misi pemberantasan korupsi bisa jalan dengan baik. Kalau kita lihat struktur kenegaraan kita Polri adalah bawahan langsung Presiden karena bertanggung jawab secara langsung pada Presiden. Sebenarnya di negara-negara maju Polri berada di bawah Menteri Dalam Negeri karena dia adalah polisi sipil. Hanya di negara kita cukup kuat dan langsung berada di bawah Presiden.

Mengingat Kapolri di bawah Presiden, maka yang paling elegan dilakukan untuk menyelematkan wibawa kepemimpinan SBY adalah medoorng Polri untuk taat kepada KPK tetapi mengingatkan KPK agar bekerja dengan unsur profesional dan niat tulus dalam membabat korupsi. Kalau Polri yang memeriksa dirinya sementara jumlah korupsi sangat besar, masyarakat tentu akan curiga bawa Polri sebdiri tidak akan objektif. Kecurigaan masyarakat ini bukan tanpa alasan, karena rekening gendut Polri sampai sekarang belum selesai diusut.***

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/08/08/67588/konflik_kpk_vs_polri_menguji_kewibawaan_kepemimpinan_presiden/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar