Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu
banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi
kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III
mulai dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:
- What is the precondition for successful policy implementation?
- What are the primary obstacles to successful policy implementation?
George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan
mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu struktur
birokrasi, sumber daya , komunikasi, disposisi.
2.1.1.1. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi
tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam
organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno
(2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai
hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
- Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).
- Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi
kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam
setiap hierarkinya.
- Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.
- Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas.
- Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.
- Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya
kerjasama banyak pihak. Ketika strukur birokrasi tidak kondusif terhadap
implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan
ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan.
Berdasakan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi
merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan
publik. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua
karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”
Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.
”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan
dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta
kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”.
(Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa
digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor
publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk
menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks
dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar
dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.
Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan bahwa:
”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan
baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar
kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu
organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat
implementasi”.
”Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP
juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur
perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat
fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru
daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam
pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno
(2005:155) menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung
jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga
memerlukan koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan
keberhasilan program atau kebijakan.
Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak
lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang
merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut
hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan
dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-154):
”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi
kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga
atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan
mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas
yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi
yang menumpuk”.
”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga
akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang
rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan
esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru
yang membutuhkan perubahan”.
2.1.1.2. Sumber Daya
Syarat berjalannya suatu organisasi adalah kepemilikan terhadap sumberdaya (
resources).
Seorang ahli dalam bidang sumberdaya, Schermerchorn, Jr (1994:14) mengelompokkan sumberdaya ke dalam: “
Information, Material, Equipment, Facilities, Money, People”. Sementara
Hodge (1996:14) mengelompokkan sumberdaya ke dalam: ”
Human resources, Material resources, Financial resources and Information resources”. Pengelompokkan ini diturunkan pada pengkategorikan yang lebih spesifik yaitu sumberdaya manusia ke dalam:
“Human resources- can be classified in a variety of ways; labors, engineers, accountants, faculty, nurses, etc”. Sumberdaya material dikategorikan ke dalam: “
Material resources-equipment, building, facilities, material, office, supplies, etc. Sumberdaya finansial digolongkan menjadi: ”
Financial resources- cash on hand, debt financing, owner`s investment, sale reveue, etc”. Serta sumber daya informasi dibagi menjadi: “
Data resources-historical, projective, cost, revenue, manpower data etc”.
Edwards III (1980:11) mengkategorikan sumber daya organisasi terdiri dari :
“Staff, information, authority, facilities; building, equipment, land and supplies”. Edward
III (1980:1) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari
aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan; “
Insufficient
resources will mean that laws will not be enforced, services will not
be provided and reasonable regulation will not be developed “.
“Sumber daya diposisikan sebagai
input dalam organisasi
sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan
teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya atau
pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh organisasi yang merefleksikan
nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam
output. Sedang secara teknologis, sumberdaya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi”. (Tachjan, 2006:135)
Menurut Edward III dalam Agustino (2006:158-159), sumberdaya
merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan yang baik.
Indikator-indikator yang digunakan untuk melihat sejauhmana sumberdaya
mempengaruhi implementasi kebijakan terdiri dari:
- Staf. Sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level bureaucrats).
Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan,
salah-satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai,
mencukupi, ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan jumlah
staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan
implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf dengan
keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam
mengimplementasikan kebijakan.
- Informasi. Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua
bentuk yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara
melaksanakan kebijakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan.
- Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar
perintah dapat dilaksanakan secara efektif. Kewenangan merupakan
otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan
kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang tidak ada,
maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi,
sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam
konteks yang lain, ketika wewenang formal tersedia, maka sering terjadi
kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam implementasi kebijakan; tetapi
di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan
oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
- Fasilitas. Fasilitas fisik merupakan faktor penting dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin mempunyai staf yang
mencukupi, kapabel dan kompeten, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung
(sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan
berhasil.
2.1.1.3. Disposisi
Menurut Edward III dalam Wianrno (2005:142-143) mengemukakan
”kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor
yang mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang
efektif”. Jika para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif
atau adanya dukungan terhadap implementasi kebijakan maka terdapat
kemungkinan yang besar implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai
dengan keputusan awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana bersikap
negatif atau menolak terhadap implementasi kebijakan karena konflik
kepentingan maka implementasi kebijakan akan menghadapi kendala yang
serius.
Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward
III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan
melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat
implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan
penghambatan lainnya.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006:162):
”sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan
bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan
dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya
bersifat
top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan
tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau
permasalahan yang harus diselesaikan”.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus
(2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri
dari:
- Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan
menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan
bila personel yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan
oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan
pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus
lagi pada kepentingan warga masyarakat.
- Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau
biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para
pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai
upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
2.1.1.4. Komunikasi
Menurut Agustino (2006:157); ”komunikasi merupakan salah-satu
variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik”. Implementasi yang efektif akan
terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang
akan mereka kerjakan. Infromasi yang diketahui para pengambil keputusan
hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Terdapat tiga indikator
yang dapat digunakan dalam mengkur keberhasilan variabel komunikasi.
Edward III dalam Agustino (2006:157-158) mengemukakan tiga variabel
tersebut yaitu:
- Transmisi. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi masalah dalam
penyaluran komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang
disebabkan banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam
proses komunikasi, sehingga apa yang diharapkan terdirtorsi di tengah
jalan.
- Kejelasan. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats) harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua.
- Konsistensi. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu
komunikasi harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan atau dijalankan.
Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian Edward III yang dirangkum dalam Winarno
(2005:127) Terdapat beberapa hambatan umum yang biasa terjadi dalam
transmisi komunikasi yaitu:
”Pertama, terdapat pertentangan antara pelaksana kebijakan dengan
perintah yang dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan seperti
ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan yang langsung dalam
komunikasi kebijakan. Kedua, informasi yang disampaikan melalui
berlapis-lapis hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi
karena panjangnya rantai informasi yang dapat mengakibatkan bias
informasi. Ketiga, masalah penangkapan informasi juga diakibatkan oleh
persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami
persyaratan-persyaratan suatu kebijakan”.
Menurut Winarno (2005:128) Faktor-faktor yang mendorong
ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya
karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai
tujuan-tujuan kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam memulai
kebijakan yang baru serta adanya kecenderungan menghindari
pertanggungjawaban kebijakan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjabarkan distori atau hambatan
komunikasi? Proses implementasi kebijakan terdiri dari berbagai aktor
yang terlibat mulai dari manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat
bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses pengorganisasian
komunikasi yang jelas ke semua tahap tadi. Jika terdapat pertentangan
dari pelaksana, maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan terdistorsi.
Untuk itu, Winarno (2005:129) menyimpulkan: ”semakin banyak lapisan atau
aktor pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin
besar kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi”.
Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun dan dikembangkan
saluran-saluran komunikasi yang efektif. Semakin baik pengembangan
saluran-saluran komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi
probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan secara benar.
Dalam kejelasan informasi biasanya terdapat kecenderungan untuk
mengaburkan tujuan-tujuan informasi oleh pelaku kebijakan atas dasar
kepentingan sendiri dengan cara mengintrepetasikan informasi berdasarkan
pemahaman sendiri-sendiri. Cara untuk mengantisipasi tindakan tersebut
adalah dengan membuat prosedur melalui pernyataan yang jelas mengenai
persyaratan, tujuan, menghilangkan pilihan dari multi intrepetasi,
melaksanakan prosedur dengan hati-hati dan mekanisme pelaporan secara
terinci.
Berdasarkan hasil penelitian tentang implemetasi kebijakan
pengembangan usaha mikro terhadap kinerja Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
di Cianjur yang dilakukan Patriana (2005:i) bahwa:
”Pengaruh dimensi komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana
(disposisi), struktur birokrasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap
kinerja LKM baik secara parsial (terpisah sendiri-sendiri) maupuan
secara simultan. Namun demikian, ditemukan hambatan komunikasi dimana
terdapat disiplin rendah dan pemahaman tugas serta tanggung jawab yang
kurang dari petugas pelaksana kebijakan”.
Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan
oleh kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi
dalam mencapai efektivitas implementasi kebijakan publik. Dengan
demikian, penyebaran isi kebijakan melalui proses komunikasi yang baik
akan mempengaruhi terhadap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media
komunikasi yang digunakan untuk menyebarluaskan isi kebijakan kepada
kelompok sasaran akan sangat berperan.
Referensi:
Edward III, George C,. 1978. Understanding Public Policy. New Jersey: Prantice Hall
Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Lemlit Unpad
Tachjan, 2006. Diktat Kuliah Kebijakan Publik. Bandung
Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung